Beranda | Artikel
Sifat Keadilan Diantara Isteri
Jumat, 22 Desember 2023

KITAB NIKAH

Utamanya keta’atan isteri terhadap suami dalam hal yang bukan maksiat kepada Allah:

عن عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ – أخرجه أحمد.

Berkata Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: “Jika seorang wanita telah mengerjakan shalatnya yang lima waktu, melaksanakan puasa wajibnya, menjaga kemaluannya, menta’ati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: masuklah kamu kedalam surga dari pintu mana saja yang kamu kehendaki” (H.R Ahmad)[1].

Diharamkan bagi setiap suami-isteri untuk melalaikan apa yang telah menjadi kewajibannya, merasa terpaksa ketika melakukannya, mencela serta mengungkitnya.

Hukum menyetubuhi wanita haid
Diharamkan bagi suami untuk menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sampai dia suci kembali, jika dia menyetubuhinya (di waktu itu), maka ia telah berbuat dosa, dan ia wajib untuk bertaubat dan istighfar.

Haram menyetubuhi wanita pada lubang duburnya, Allah tidak akan melihat kepada seorang laki yang menyetubuhi dubur isterinya, karena dubur adalah tempat kotoran dan najis.

Apabila seorang isteri telah berhenti dari keluarnya darah haidh, maka boleh bagi suami untuk menyetubuhinya jika dia telah mandi.

Allah berfirman:

قال الله تعالى: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ } [البقرة/222]

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” [Al-Baqarah/2: 222]

Suami diperbolehkan untuk memaksa isterinya agar mencuci haidh, sesuatu yang najis, memotong atau menghilangkan apa yang tidak disukai dari rambut ataupun lainnya.

Rahasia kemiripan reproduksi
Jika seorang suami menyetubuhi isterinya, ketika air maninya lebih mendahului maka anaknya akan mirip dengannya, dan jika isterinya yang lebih dulu maka dia akan mirip dengan isterinya.

Apabila mani suami lebih tinggi dari mani isterinya, insya Allah akan mendapat anak laki dan jika mani perempuan yang lebih tinggi maka mereka akan mendapatkan anak wanita insya Allah.

Hukum azal
Suami boleh melakukan azal (mengeluarkan mani diluar rahim) terhadap isterinya, akan tetapi jika dia tinggalkan akan lebih baik; karena hal tersebut akan mengurangi kenikmatan isterinya dan juga kehilangan keturunan yang menjadi tujuan dalam menikah.

Apabila ada udzur ataupun kepentingan, diperbolehkan untuk menggugurkan kandungan sebelum genap berusia empatpuluh hari, dengan menggunakan obat yang mubah, juga dengan syarat harus seidzin suami, tidak berdampak negatif terhadap isteri. Namun hal tersebut tidak boleh dilakukan karena alasan takut memiliki banyak anak atau takut tidak bisa menghidupi serta mendidik mereka.

Haram bagi seorang suami untuk mengumpulkan lebih dari dua orang isteri dalam sebuah rumah, kecuali atas ridho keduanya, tidak boleh baginya untuk bepergian dengan salah satu isterinya kecuali setelah mengundinya. Barang siapa yang memiliki dua orang isteri kemudian dia lebih condong kepada salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadan tubuh yang condong kesamping.

Sifat keadilan diantara isteri
Wajib bagi seorang suami untuk berlaku adil diantara isteri-isterinya dalam memberi, menginap, nafkah dan tempat tinggal, sedangkan bersetubuh tidaklah wajib, namun jika dia bisa melakukannya sangatlah baik, dan tidak berdosa atas kecondongan hati, karena dia tidak akan kuasa untuk menguasainya.

Disunnahkan bagi dia yang telah beristeri kemudian menikah lagi dengan seorang perawan untuk tinggal bersamanya selama tujuh hari, barulah setelah itu berbagi rata dengan isterinya yang lain. Dan jika menikahi seorang janda hendaklah tinggal bersamanya selama tiga hari, barulah setelah itu dibagi, jika dia meminta tujuh hari, maka boleh bagi suami untuk tinggal bersamanya selama tujuh hari, akan tetapi harus melakukan hal yang sama dengan isterinya yang lain, barulah setelah itu membagi dengan memberi jatah satu malam bagi tiap mereka.

عن أم سلمة رضي الله عنها أَنَّ رَسُولَ الله- صلى الله عليه وسلم- لَمَّا تَزَوَّجَ أُمَّ سَلَمَةَ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاثاً وَقَالَ: «إنَّهُ لَيْسَ بِكِ عَلَى أَهْلِكِ هَوَانٌ، إنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ، وَإنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي». أخرجه مسلم.

Dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menikahi Ummu Salamah, beliau tinggal bersamanya selama tiga hari, lalu berkata: “Sesungguhnya tidak ada kerendahan bagimu, jika kamu ingin akan aku genapkan menjadi tujuh hari, dan jika aku menggenapkan tujuh hari maka akupun akan melakukannya terhadap seluruh isteriku” H.R Muslim[2].

Seorang isteri perawan masih merasa asing terhadap suaminya, diapun masih merasa asing untuk berpisah dengan keluarganya, oleh sebab itulah dia membutuhkan lebih banyak kelembutan dan sebagai penghilang rasa takut, yang mana hal tersebut tidak terjadi dengan seorang janda.

Apabila seorang isteri meghibahkan (menghadiahkan) bagian harinya untuk isteri yang lain, dengan idzin dari suami atau membebaskannya untuk memilih isteri yang mana saja sesuai dengan kehendak suaminya, maka hal tersebut dibolehkan.

Diperbolehkan bagi dia yang memiliki beberapa orang isteri untuk menemui isteri yang pada hari itu bukan merupakan jatahnya, dia boleh mendekati untuk mengetahui keadaannya, namun dia tidak boleh menyetubuhinya, dan jika malam hari telah tiba dia harus kembali kepada yang mendapatkan giliran untuk menghususkan malam itu untuknya.

Apabila seorang wanita pergi keluar kota tanpa idzin suaminya, atau menolak ketika diajak pergi bersamanya, atau menolak ketika diajak untuk tidur bersamanya dalam satu ranjang, maka dia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dan tidak pula nafkah, karena wanita tersebut telah bermaksiat dan mungkir.

Disunnahkan bagi suami yang bepergian jauh dan lama untuk tidak mengagetkan mereka dengan kedatangannya, akan tetapi memberi tahu mereka waktu kedatangannya, agar isterinya bisa menyambut dengan penampilan yang lebih baik, dia bisa menyisir terlebih dahulu rambutnya yang tidak rapih dan mencukur apa yang berlebihan.

[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي   (Ringkasan Fiqih Islam Bab :  Nikah dan Permasalahan Terkait كتاب النكاح وتوابعه). Penulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri  Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
______
Footnote
[1] Hadits shohih riwayat Ahmad nomer (1661), lihat kitab adab zafaf karangan Al-Albani hal (182), dan lihat pula shohih al jami’ nomer (660).
[2] Riwayat Muslim nomer (1460).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/95093-sifat-keadilan-diantara-isteri.html